Perbandingan antar Rezim dalam Menafsirkan Pancasila

Perbandingan penafsiran nilai-nilai pancasila merupakan­ refleksi dari perbandingan corak kepemimpinan setiap era pemerintahan di Indonesia. Setiap pemerintahan tentunya memiliki penafsiran yang berbeda jika dibandingkan dengan era pemerintahan lainnya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa setiap era pemerintahan memiliki tantangan dan peluang yang berbeda-beda sesuai dengan dinamika politik domestik dan perkembangan sistem internasional. Pancasila sebagai ideologi dan dasar negera tentunya memiliki nilai-nilai yang wajib diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, peranan pemerintah negara tentunya menjadi penting dalam menanamkan nilai-nilai pancasila terhadap masyarakat.

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia mengalami beberapa era pemerintahan. Dalam hal perbandingan penafsiran nilai-nilai pancasila, reviewer akan fokus terhadap era pemerintahan orde lama, orde baru dan orde reformasi. Ketiga era pemerintahan ini menjadi momen penting dalam mencari bentuk dan pola interpretasi pancasila mengingat kuatnya dinamika politik di masing-masing era tersebut. Pancasila menjadi dasar negara yang dapat menyatukan masyarakat menuju bangsa yang bermoral dan berintegritas. Akan tetapi, di satu sisi pancasila dapat menjadi legitimator kepentingan penguasa. Sekali lagi, hal tersebut tentunya tergantung pada penafsiran pancasila dalam pencarian jati diri Indonesia.

Penafsiran Nilai-nilai Pancasila di Era Orde Lama

Pada masa orde lama, pancasila ditafsirkan berdasarkan dinamika politik yang berkembang pada sistem internasional yang didominasi isu pergolakan ideologi. Di lain hal, sistem politik dan kondisi domestik Indonesia dihadapkan pada situasi transisi masa terjajah menuju masa merdeka. Dapat dikatakan bahwa, masa orde lama merupakan masa pencarian bentuk implementasi nilai-nilai pancasila. Dalam orde lama, penafsiran pancasila dapat dibagi ke dalam 3 periode yang berbeda yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

  • Periode 1945-1950

Penafsiran pancasila di periode ini lebih terlihat dalam hal membangun nasionalisme bangsa dalam melawan penjajahan Belanda. Akan tetapi dalam perkembangannya, implementasi pancasila belum menemukan bentuk yang stabil akibat pergolakan politik dan gelombang pertarungan ideologi. Terdapat upaya-upaya untuk mengganti pancasila sebagai ideologi dengan faham komunisme oleh PKI di tahun 1948 dan DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Diterapkannya demokrasi parlementer dalam periode ini, menimbulkan instabilitas pemerintahan dimana walaupun konstitusi yang digunakan adalah pancasila dan UUD 1945 yang presidensil, akan tetapi praktek kenegaraan presidensil tak dapat terwujudkan. Dalam hal kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah tidak dapat dilaksanakan.

 

 

  • Periode 1950-1959

Pada periode ini, pancasila ditafsirkan sebagai ideologi liberal. Walaupun pancasila sebagai dasar negara, sila keempat tidak berjiwakan musyawarah melainkan suara terbanyak atau voting. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan liberal yang menekankan hak-hak individual. Para peridoe ini, stabilitas keamanan dihadapkan pada munculnya pemberontakan RMS, PRRI dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, terlaksananya pemilu 1955 menjadi bukti keberhasilan demokrasi pada saat itu. Akan tetapi, keberhasilan pemilu tersebut tidak disertai dengan keberhasilan anggota Konstituante dalam menyusun UUD sehingga terjadi tarik ulur kekuasaan presiden dan parlemen.

  • Periode 1959-1966

Periode ini dikenal dengan periode demokrasi terpimpin. Penafsiran pancasila tidak diarahkan pada kekuasaan rakyat yang berlandaskan demokrasi, akan tetapi kekuasaan penuh seorang pribadi Soekarno. Konsekuensinya, terjadi banyak penyimpangan terhadap penafsiran pancasila di parlemen. Pemerintahan Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup dan penerapan politik konfrontasi. Hal ini menimbulkan distrust dan kemerosotan moral pancasila di masyarakat. Pada periode ini, Soekarno menafsirkan pancasila dengan paradigma USDEK yang memegang teguh UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Ketuhanan yang maha esa. Di masa demokrasi terpimpin, Soekarno berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki bargaining position di mata internasional dan mampu menjaga integritas wilayah dan semangat kebangsaan. Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini, pancasila ditafsirkan sebagai ideologi otoriter yang tidak memberikan ruang demokrasi bagi rakyat.

Penafsiran Nilai-nilai Pancasila di Era Orde Baru

            Penafsiran pancasila di awal era orde baru diarahkan pada penafsiran pancasila secara murni dan akomodatif sebagai kritik terhadap orde lama yang melakukan penyimpangan terhadap pancasila. Pada masa ini, indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu  sisi, sistem internasional diliputi dengan perang dingin dan di sisi lain, kondisi domestik mengalami krisis ekonomi dan politik. Dalam perkembangannya, upaya Soeharto dalam menghadapi hal tersebut dengan menerapkan paradigma berlandaskan pancasila yang esensinya adalah menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Pemahaman pancasila di era Soeharto terlihat dalam konsep P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Hal ini terefleksikan dalam istilah stabilitas politik yang dinamis dengan trilogi pembangunan. Paradigma ini tentunya didasarkan pada pengalaman era orde lama yang dinilai memiliki banyak ketimpangan. Perencanaan dan konseptualisasi kebijakan di awal era orde baru yang dilandaskan pada pancasila menunjukkan semangat idealisme untuk memperbaiki tatanan pemerintahan.

Dalam pengamalan pancasila, konsep P4 Soeharto memunculkan harapan baru akan adanya pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi, dalam perkembangannya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering kali menyimpang dari jiwa pancasila. Walaupun kesejahteraan rakyat meningkat dan Indonesia memiliki bargaining position di mata dunia internasional, tetapi kondisi politik dan keamanan domestik menjadi rentan akibat pemerintahan Soeharto yang sentralistik dan otoriter. Hal ini menyebabkan konflik internal dalam negeri. Konsekuensinya, demokrasi tidak berjalan dan terjadi berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk menekan daya kritis masyarakat terhadap pemerintah. Dalam penafsirannya terhadap pancasila, Soeharto menjadikan pancasila sebagai doktrin untuk melegitimasi segala bentuk kebijakan dan upaya untuk mempertahankan kekuasaan. Pancasila dijadikan sebagai ideologi tertutup yang tidak memberikan ruang bagi kebebasan untuk berekspresi. Dengan kata lain, pancasila dikeramatkan sebagai landasan stabilitas nasional. Pancasila di era orde baru ditafsirkan sebagai ideologi yang menguntungkan satu golongan saja yaitu kekuasaan pemerintah. Pancasila dikeramatkan sebagai fondasi stabilitas nasional dan legitimator dari segala kebijakan pemerintah era orde baru.

Penafsiran Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi

Era reformasi muncul sebagai koreksi terhadap orde lama yang melakukan banyak penyimpangan terhadap pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Era reformasi menjadi era keterbukaan bagi masyarakat. Jaminan atas hak-hak masyarakat mulai dikembangkan. Rakyat memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berserikat. Hal ini ditandai dengan maraknya kemunculan LSM, partai politik dan organisasi lainnya. Penegakan hukum dianggap lebih akomodatif dibandingkan orde baru. Akan tetapi, dalam perkembangannya pemerintahan yang berjalan tidak efektif sehingga masih ada kerancuan dalam fungsi kenegaraan. Selain itu, walaupun kebebasan telah menjadi jaminan dalam masyarakat, isu etnisitas mencuat di berbagai daerah. Semangat primordialisme berkembang menjadi konflik etnis yang menjadi ancaman politik dan keamanan negara. Benturan antar agama, antar suku dan antar kelompok lainnya menjadi bagian dari hal tersebut. Terjadi eskalasi kriminalitas yang berpotensi pada kekerasan sebagai penyelesaian masalah.

Kondisi ini tentunya menjadi refleksi dari degradasi pemahaman pancasila sebagai dasar, falsafah dan ideologi negara. Kelima sila dari pancasila tentunya menekankan persatuan bangsa tanpa adanya sekat-sekat primordialisme yang berpotensi pada perpecahan. Bhineka tunggal ika yang menjadi sintesis pancasila mendorong terciptanya toleransi dan apresiasi terhadap segala perbedaan menuju masyarakat multikultural. Selain itu dalam kerangka historisnya, lahirnya pancasila didasarkan pada adanya acceptance (penerimaan) terhadap beragamnya etnis tanpa ada kelompok superior di dalamnya. Permasalahan etnisitas di era reformasi ditandai dengan munculnya gerakan disintegritas di Aceh, Maluku, Timur Timor dan Papua. Kompleksitas ethnic relations ini tentunya menjadi tantangan di era reformasi.

Era reformasi yang memunculkan empat masa kepresidenan Indonesia memiliki kecenderungan yang sama dalam menafsirkan pancasila yaitu pancasila hanya sebatas pendekatan retorika politik. Era pemerintahan Habibie menafsirkan pancasila sebagai pendekatan retorika politik, khususnya Bhineka Tunggal Ika dalam meredam konflik domestik yang ada. Dengan kata lain, pancasila lebih ditafsirkan sebagai ideologi untuk mempersatukan bangsa dengan berupaya menggalang dukungan inernasional. Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut, pemerintahan Gusdur dan Megawati Soekarno Putri memiliki arah yang sama dalam memandang pancasila jika dikaitkan dengan intensitas konflik internal negara. Selain itu, salah satu yang ditekankan dalam era pemerintahan Gusdur adalah penerapan pancasila sebagai ideologi terbuka yang dituangkan dalam prinsip pluralisme. Gusdur mengakomodasi segala perbedaan. Hal ini terlihat dengan adanya kebijakan mengenai pengakuan keyakinan Konghucu sebagai agama yang diakui dalam konstitusi. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pancasila lebih difungsikan sebagai pendekatan retorika politik dengan implementasi nilai-nilai pancasila yang kurang efektif dan sering kali tidak akomodatif.

Degradasi pemahaman dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pancasila di era reformasi disebabkan karena jatuhnya orde baru. Identitas pancasila disamakan dengan identitas pemerintahan orde baru. Di zaman orde baru, pancasila adalah dewa, melebihi ideologi yang menjadi tameng pemerintahan Soeharto. Jiwa pancasila dilekatkan pada berbagai penyimpangan yang terjadi di era orde baru, terutama adanya pembatasan kebebasan bagi masyarakat. Selain itu, pengaruh globalisasi dipersepsikan sebagai nilai-nilai baru dalam masyarakat sehingga ada upaya untuk menggantikan nilai-nilai pancasila dan mengaburkan penafsiran masyarakat terhadap pancasila itu sendiri yang juga dipengaruhi euforia kebebasan berekspresi. Dengan kata lain, pancasila ditafsirkan hanya sebatas pendekatan retorika politik.

Kesimpulan

Perbandingan antar rezim dalam menafsirkan pancasila merupakan bagian dari rentetan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Terdapat pola interaksi dan pendekatan politik di masing-masing era pemerintahan dalam menafsirkan pancasila. Di era orde baru, penafsiran pancasila sangat dinamis melihat adanya kompleksitas dan dinamika politik di awal kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya, pancasila lebih ditafsirkan sebagai ideologi untuk membangun nasionalisme masyarakat dalam melawan penjajahan Belanda dan untuk munjukkan kemandirian bangsa, walaupun kemudian inefektifitas pemerintahan muncul sebagai bagian dari upaya pencarian bentuk implementasi pancasila yang ideal. Di era orde lama, pancasila juga ditafsirkan sebagai ideologi liberal dalam manajemen pemerintahan, khususnya pada 1950-1959. Dalam perkembangannya, dengan melihat figur kepemimpinan Soekarno, pancasila ditafsirkan sebagai ideologi otoriter yang tidak memberikan ruang demokrasi bagi rakyat.

Di lain hal, orde baru menafsirkan pancasila sebagai ideologi tertutup dan dikeramatkan sebagai fondasi stabilitas nasional dan legitimator dari segala kebijakan pemerintah era orde baru. Pancasila menjadi doktrin untuk membenarkan berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi. Sedangkan di era reformasi jiwa pancasila dilekatkan pada berbagai penyimpangan yang terjadi di era orde baru, terutama adanya pembatasan kebebasan bagi masyarakat. Hal ini kemudian menimbulkan degradasi pemahaman dan ketidakpercayaan terhadap pancasila. Selain itu, pengaruh globalisasi menjadi kekuatan baru yang berpotensi menggantikan nilai-nilai pancasila. Dapat disimpulkan bahwa penafsiran pancasila di berbagai rezim disesuaikan dengan tantangan dan kondisi di masing-masing era pemerintahan. Dalam perjalanan bangsa Indonesia, Pancasila lebih ditafsirkan sebagai ideologi untuk mempertahankan kekuasaan, khususnya pada era orde lama dan orde baru.

 

Arnaldi Nasrum

Anggota Cakrawala Club

Leave a comment